Perempuan
Tengah malam begini pukul 00.27 saat
mata udah mulai tidak terhubung dengan saraf otak, aku masih ingin menulis
tentang perempuan. Akhir-akhir ini aku cukup sering memikirkan tentang ini. ya,
satu tema besar tentang diriku atau label yang diberikan dan melekat kuat dalam
tubuhku. Terlahir menjadi perempuan. Aku tentu saja tidak memilih lahir sebagai
perempuan tetapi tetap saja aku lahir dengan tubuh yang disebut sebagai tubuh
perempuan. Sekali lagi aku tidak memilih lahir dengan tubuh perempuan. bukan
aku tidak menyukai tubuhku, tetapi label ini menyimpan banyak beban yang harus
ditanggung dari lahir sampai mati.
Pertanyaannya kenapa tiba-tiba
menulis tentang perempuan? Banyak alasan yang mendasari pemikiran ini. Jujur
aku belum banyak membaca tentang perempuan. Aku hanya akan menuliskan hal-hal
yang menurutku perlu aku teriakkan pada orang-orang soal menjadi perempuan.
Mungkin akan sangat subyektif sekali. Aku ingatkan bahwa tulisan ini tidak akan
netral dan jelas akan memihak. Aku akan sangat menghargai jika yang membaca
tulisan ini mau merendahkan dirinya untuk menerima pemikiran mahasiswa yang
mempertanyakan banyak hal tentang perempuan dari sudut pandang perempuan. Tanpa
melihat penulis seorang perempuan, semoga tulisan ini bermanfaat.
Kemarin adalah Hari Kartini. Aku
belum sempat membaca tulisannya. Aku hanya tahu kalau beliau berjuang untuk
menuntut kesetaraan perempuan. Lalu malam ini, temenku bilang padaku, “Kamu
udah baca bukunya Kartini?” Setelah sekian lama tertarik dengan perempuan,
ternyata aku abai dengan tokoh dan karya-karya pahlawan perempuan Indonesia
apalagi dunia. Banyak alasan tentu saja, Lain kali ajalah kuceritakan. Kenapa temenku
bisa nanya seperti padaku, mungkin karena dia sering mendengarku bicara soal
perempuan. Kalau udah bicarain tentang perempuan, kadang-kadang aku suka agak
ngotot.
Aku perempuan muda dengan idealisme
yang agak muluk-muluk. Kadang kalau aku pikir aku terlalu berandai-andai soal
keadaanku sebagai perempuan. Menjadi perempuan ternyata sulit sekali. Apa pun
yang dilakukan selalu dikaitkan dengan identitas keperempuanan. Bayangkan saja,
hanya untuk memilih warna baju saja harus dikaitkan dengan identitas perempuan.
Apa salahnya kalau aku memilih kemeja warna hitam dengan celana jins warna
hitam dengan potongan rambut cepak atau kaos pendek warna hitam dengan celana
warna hitam tanpa anting? Masih mending kalo aku berdandan seperti itu lalu datang
ke kampus? Orang bilang kampus tempat orang brependidikan jadi hal-hal begitu
agak ditolerirlah itupun aku masih sanksi. Apalagi kalau kita bergaya seperti
itu datang ke kampungku. Silakan aja dicoba. Ini hal kecil menurutku, hanya
soal memilih warna dan gaya pakaian, belum soal kita memilih pendidikan, pekerjaan,
tempat tinggal, bahkan soal pasangan hidup. Entah bagaimana semua menyulitkan
perempuan untuk mengatur hidup yang harusnya ditentukan oleh setiap individu
perempuan. Mungkin di zaman sekarang ini sudah banyak perempuan bisa menentukan
pilihannya sendiri. Bisa sekolah, bekerja di ruang publik, punya uang sendiri,
bisa jalan-jalan, punya rumah sendiri.
Tetapi coba hitung, lebih banyak mana perempuan yang punya pilihan dan
dibolehin ini-itu ketimbang perempuan yang hanya di rumah menunggu lamaran
orang? Aku tidak menyalahkan siapa pun. Aku hanya mempertanyakan kenapa bisa
begitu?
Aku mungkin sedikit lebih beruntung
daripada perempuan yang lain. Aku walaupun terlahir perempuan tapi masih bisa
kuliah. Temenku deketku satu kampung tidak beruntung karena lahir di keluarga
yang entah karena berbagai alasan mungkin, tidak memungkinkannya kuliah. Kalau kutanya,
apakah tidak ingin kuliah, dia bilang bahwa keluarga tidak mampu atau memang
sebenarnya orang tuanya berbikir bahwa dia hanya perempuan. Untuk apa?
Atas nama perempuan yang diagungkan,
aku menolak untuk perlakuan yang menjadikan perempuan terhakimi. Mungkin tidak
secara sadar dan diterima begitu saja oleh perempuan. Mungkin perlakuan ini
dilakukan ini oleh perempuan juga. Tetapi aku yakin segala pemikiran dan
perlakuan terhadap perempuan dibentuk. Oleh apa dan siapa? Satu pertanyaan yang
harus dibongkar lebih dalam.
Aku sering berselisih paham dengan
laki-laki tentang kediaknyamananku menjadi perempuan dengan stereotipe di
masyarakat. Bahkan dengan perempuan sendiri. Jika laki-laki yang menentang,
wajar saja. Karena secara tidak sadar apa yang kupikirkan mengusik dominasi
laki-laki. Bagaimana mungkin suaraku atas perempuan yang menuntut agar
perempuan diperlakukan seperti laki-laki dengan segala haknya ditentang oleh
perempuan sendiri? Lucu? Menurutku ini bukan bahan tertawaan, ini hal yang
sangat serius. Kenapa ini bisa terjadi?
Ketika aku membicarakan bahwa nanti
ketika aku punya suami aku maunya dibuat kesepakatan tentang siapa melakukan
apa, komentar datang dengan berdalih apapun bahwa tidak seharusnya perempuan begitu.
Perempuan harus begini dan begitu. Aku muak dengan apa pun yang mengatur
perempuan. Mungkin ada juga yang berkomentar, “Laki-laki juga diatur kali. Lu pikir
jadi laki-laki enak? Enakan perempuan kali tinggal di rumah ga disuruh nyari
duit nanti.” Oke silakan aja berkomentar begitu. Tidak ada yag melarang. Karena
Anda yang bilang seperti itu telah rela meluangkan waktu membaca tulisan ini.
Aku menghargainya. Tetapi dengan segala kerendahan hatiku, aku ingin bertanya,
apakah Anda pernah bilang begitu ke ibu Anda?
Aku punya adik laki-laki. Hanya selisih
setahun dibawahku. Aku selalu iri dengannya dalam banyak hal. Terutama karena
dia laki-laki. Aku tidak membencinya, hanya saja perbedaan jenis kelamin ini
menjadikan kami berbeda dalam banyak hal.
Lalu apa salahnya menjadi perempuan?
Oke aku bisa menerima kalau menjadi perempuan adalah kodrat, aku mampu
memahaminya. Dengan perbedaan tubuh yang signifikan aku mengakuinya. Tapi apakah
memasak adalah kodrat? Tinggal di rumah adalah kodrat? Tentu saja tidak. Kalau aku
tidak bisa memasak lalu orang menghakimiku dengan mengatakan “Masa perempuan ga
bisa masak? Mau jadi apa?” Aku akan tertawa lebar menanggapi hal ini dan bilang
aku tetap perempuan walaupun biaa atau tidak bisa masak. Emangnya kalau aku ga
bisa masak aku berubah jadi laki-laki? Atau kalau laki-laki bisa masak akan
berubah jadi perempuan? Kalau begitu sih aku mau saja. Bukan berarti aku bangga
tidak bisa masak atau malu bahkan karena tidak bisa masak. Aku merasa biasa
saja. Aku ingin berpikir bahwa aku belajar memasak bukan karena aku perempuan
tapi karena aku ingin mempunyai satu keahlian yaitu memasak. Jika aku bisa
memasak, aku akan menganggap bahwa itu pilihan bukan suatu kodrat yang
dilekatkan pada perempuan. Aku akan belajar tentu saja. Lalu aku bisa memasak
bukan karena nanti kelak aku akan melayani suami dengan masakanku tetapi karena
memang aku mau dan untuk kebutuhanku.
Apa salahnya mempunyai pemikiran
yang berbeda tentang perempuan? Aku bukan mau jadi pembangkang kaum perempuan karena
berpikir setiap tindakan yang aku pilih adalah karena aku perempuan. Aku hanya
memikirkan kenapa harus seperti ini? Terkadang aku juga sensitif sekali jika
ditentang oleh perempuan sendiri. Aku merasa tidak diakui sebagai perempuan
sejati kadang-kadang karena terlalu ekstrem memikirkan tentang kenapa perempauan
harus menjadi perempuan yang dianggap “ideal” di mata masyarakat. Mungkin banyak
orang tidak akan mengkritik pemikiranku karena dianggap terlalu banyak menuntut
tanpa dasar yang jelas. Itu konsekuensi yang
aku pilih. Biarkan saja. Aku lebih memilih dihakimi atas pemikiranku daripada
dihakimi karena aku perempuan.
Aku tidak ingin perempuan selalu
disalahkan atas pilihannya. Misalnya saja, pilihanku memakai kerudung dengan
alasan tentu saja. Lalu mungkin suatu ketika aku akan melepas kerudungku dengan
suatu alasan tentu saja (walaupun alasan itu mungkin bagi banyak orang tidak
masuk akal), aku tidak ingin dihakimi. Mereka boleh mengkritik tetapi aku
menolak dihakimi atas dasar aku perempuan. Ini bukan suatu pembenaran dan
pembelaan atas sikap yang kupilih, tapi aku ingin orang melihat pilihanku
karena ini memang suatu pilihan. Seperti misalnya laki-laki memilih untuk
memakai topi atau tidak ke kampus. Tidak ada yang peduli akan pilihan mereka. Kenapa tidak bisa berpikir seperti itu? Woyyy
jangan selalu mengkaitkan apapun dengan pilihan perempuan. Oke mungkin akan ada
yang berkomentar kalau ini menyangkut soal agama. Lalu kenapa tidak ada style
yang menganjurkan laki-laki memakai sarung ke kampus. Apa ini soal menutup
aurat? Atau soal melindungi perempuan dari tindak kejahatan? Atau malahan ini
hanya soal bisnis kerudung? Entahlah hanya saja tidak bisakah kita melihat ini
sebagai satu bentuk pilihan? Sekali lagi ini bukan pembelaanku. Ini hanya soal
mempertanyakan tentang menjadi perempuan. Betapa sulitnya hidup dalam tubuh
perempuan.
Akhir-akhir ini aku sedang berjuang menyelesaikan
buku Aquarini Priyatna Prabasmoro. Aku bukan feminis. Mungkin pemikiranku
mengarah kesana tapi aku hanya sebatas ingin tahu. Aku tidak membenci laki-laki
yang boleh dibilang lebih beruntung. Menjadi laki-laki pun juga tidak mudah
mungkin dengan segala tekanan yag dihadapi. Tetapi harus diakui stereotipe
laki-laki tidak menempatkannya secara opresif. Laki-laki tidak ditekan dan
ditindas oleh perlakuan yang menghakimi.
Sebelum mengakhiri tulisan ini aku ingin merekomendasikan buku yang bagus untuk dibaca karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Semoga buku dan tulisan ini menginspirasi.
Cukup sekian malam ini. Silakan
membaca.
Salam Hangat, Susi Sarawati
Dini Hari, 02.17 Senin, 22 April
2013
No comments:
Post a Comment