Sunday, April 21, 2013

Perempuan

Perempuan
Tengah malam begini pukul 00.27 saat mata udah mulai tidak terhubung dengan saraf otak, aku masih ingin menulis tentang perempuan. Akhir-akhir ini aku cukup sering memikirkan tentang ini. ya, satu tema besar tentang diriku atau label yang diberikan dan melekat kuat dalam tubuhku. Terlahir menjadi perempuan. Aku tentu saja tidak memilih lahir sebagai perempuan tetapi tetap saja aku lahir dengan tubuh yang disebut sebagai tubuh perempuan. Sekali lagi aku tidak memilih lahir dengan tubuh perempuan. bukan aku tidak menyukai tubuhku, tetapi label ini menyimpan banyak beban yang harus ditanggung dari lahir sampai mati.
Pertanyaannya kenapa tiba-tiba menulis tentang perempuan? Banyak alasan yang mendasari pemikiran ini. Jujur aku belum banyak membaca tentang perempuan. Aku hanya akan menuliskan hal-hal yang menurutku perlu aku teriakkan pada orang-orang soal menjadi perempuan. Mungkin akan sangat subyektif sekali. Aku ingatkan bahwa tulisan ini tidak akan netral dan jelas akan memihak. Aku akan sangat menghargai jika yang membaca tulisan ini mau merendahkan dirinya untuk menerima pemikiran mahasiswa yang mempertanyakan banyak hal tentang perempuan dari sudut pandang perempuan. Tanpa melihat penulis seorang perempuan, semoga tulisan ini bermanfaat.
Kemarin adalah Hari Kartini. Aku belum sempat membaca tulisannya. Aku hanya tahu kalau beliau berjuang untuk menuntut kesetaraan perempuan. Lalu malam ini, temenku bilang padaku, “Kamu udah baca bukunya Kartini?” Setelah sekian lama tertarik dengan perempuan, ternyata aku abai dengan tokoh dan karya-karya pahlawan perempuan Indonesia apalagi dunia. Banyak alasan tentu saja, Lain kali ajalah kuceritakan. Kenapa temenku bisa nanya seperti padaku, mungkin karena dia sering mendengarku bicara soal perempuan. Kalau udah bicarain tentang perempuan, kadang-kadang aku suka agak ngotot.
Aku perempuan muda dengan idealisme yang agak muluk-muluk. Kadang kalau aku pikir aku terlalu berandai-andai soal keadaanku sebagai perempuan. Menjadi perempuan ternyata sulit sekali. Apa pun yang dilakukan selalu dikaitkan dengan identitas keperempuanan. Bayangkan saja, hanya untuk memilih warna baju saja harus dikaitkan dengan identitas perempuan. Apa salahnya kalau aku memilih kemeja warna hitam dengan celana jins warna hitam dengan potongan rambut cepak atau kaos pendek warna hitam dengan celana warna hitam tanpa anting? Masih mending kalo aku berdandan seperti itu lalu datang ke kampus? Orang bilang kampus tempat orang brependidikan jadi hal-hal begitu agak ditolerirlah itupun aku masih sanksi. Apalagi kalau kita bergaya seperti itu datang ke kampungku. Silakan aja dicoba. Ini hal kecil menurutku, hanya soal memilih warna dan gaya pakaian, belum soal kita memilih pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, bahkan soal pasangan hidup. Entah bagaimana semua menyulitkan perempuan untuk mengatur hidup yang harusnya ditentukan oleh setiap individu perempuan. Mungkin di zaman sekarang ini sudah banyak perempuan bisa menentukan pilihannya sendiri. Bisa sekolah, bekerja di ruang publik, punya uang sendiri, bisa jalan-jalan, punya rumah sendiri.  Tetapi coba hitung, lebih banyak mana perempuan yang punya pilihan dan dibolehin ini-itu ketimbang perempuan yang hanya di rumah menunggu lamaran orang? Aku tidak menyalahkan siapa pun. Aku hanya mempertanyakan kenapa bisa begitu?
Aku mungkin sedikit lebih beruntung daripada perempuan yang lain. Aku walaupun terlahir perempuan tapi masih bisa kuliah. Temenku deketku satu kampung tidak beruntung karena lahir di keluarga yang entah karena berbagai alasan mungkin, tidak memungkinkannya kuliah. Kalau kutanya, apakah tidak ingin kuliah, dia bilang bahwa keluarga tidak mampu atau memang sebenarnya orang tuanya berbikir bahwa dia hanya perempuan. Untuk apa?
Atas nama perempuan yang diagungkan, aku menolak untuk perlakuan yang menjadikan perempuan terhakimi. Mungkin tidak secara sadar dan diterima begitu saja oleh perempuan. Mungkin perlakuan ini dilakukan ini oleh perempuan juga. Tetapi aku yakin segala pemikiran dan perlakuan terhadap perempuan dibentuk. Oleh apa dan siapa? Satu pertanyaan yang harus dibongkar lebih dalam.
Aku sering berselisih paham dengan laki-laki tentang kediaknyamananku menjadi perempuan dengan stereotipe di masyarakat. Bahkan dengan perempuan sendiri. Jika laki-laki yang menentang, wajar saja. Karena secara tidak sadar apa yang kupikirkan mengusik dominasi laki-laki. Bagaimana mungkin suaraku atas perempuan yang menuntut agar perempuan diperlakukan seperti laki-laki dengan segala haknya ditentang oleh perempuan sendiri? Lucu? Menurutku ini bukan bahan tertawaan, ini hal yang sangat serius. Kenapa ini bisa terjadi?
Ketika aku membicarakan bahwa nanti ketika aku punya suami aku maunya dibuat kesepakatan tentang siapa melakukan apa, komentar datang dengan berdalih apapun bahwa tidak seharusnya perempuan begitu. Perempuan harus begini dan begitu. Aku muak dengan apa pun yang mengatur perempuan. Mungkin ada juga yang berkomentar, “Laki-laki juga diatur kali. Lu pikir jadi laki-laki enak? Enakan perempuan kali tinggal di rumah ga disuruh nyari duit nanti.” Oke silakan aja berkomentar begitu. Tidak ada yag melarang. Karena Anda yang bilang seperti itu telah rela meluangkan waktu membaca tulisan ini. Aku menghargainya. Tetapi dengan segala kerendahan hatiku, aku ingin bertanya, apakah Anda pernah bilang begitu ke ibu Anda?
Aku punya adik laki-laki. Hanya selisih setahun dibawahku. Aku selalu iri dengannya dalam banyak hal. Terutama karena dia laki-laki. Aku tidak membencinya, hanya saja perbedaan jenis kelamin ini menjadikan kami berbeda dalam banyak hal.
Lalu apa salahnya menjadi perempuan? Oke aku bisa menerima kalau menjadi perempuan adalah kodrat, aku mampu memahaminya. Dengan perbedaan tubuh yang signifikan aku mengakuinya. Tapi apakah memasak adalah kodrat? Tinggal di rumah adalah kodrat? Tentu saja tidak. Kalau aku tidak bisa memasak lalu orang menghakimiku dengan mengatakan “Masa perempuan ga bisa masak? Mau jadi apa?” Aku akan tertawa lebar menanggapi hal ini dan bilang aku tetap perempuan walaupun biaa atau tidak bisa masak. Emangnya kalau aku ga bisa masak aku berubah jadi laki-laki? Atau kalau laki-laki bisa masak akan berubah jadi perempuan? Kalau begitu sih aku mau saja. Bukan berarti aku bangga tidak bisa masak atau malu bahkan karena tidak bisa masak. Aku merasa biasa saja. Aku ingin berpikir bahwa aku belajar memasak bukan karena aku perempuan tapi karena aku ingin mempunyai satu keahlian yaitu memasak. Jika aku bisa memasak, aku akan menganggap bahwa itu pilihan bukan suatu kodrat yang dilekatkan pada perempuan. Aku akan belajar tentu saja. Lalu aku bisa memasak bukan karena nanti kelak aku akan melayani suami dengan masakanku tetapi karena memang aku mau dan untuk kebutuhanku.
Apa salahnya mempunyai pemikiran yang berbeda tentang perempuan? Aku bukan mau jadi pembangkang kaum perempuan karena berpikir setiap tindakan yang aku pilih adalah karena aku perempuan. Aku hanya memikirkan kenapa harus seperti ini? Terkadang aku juga sensitif sekali jika ditentang oleh perempuan sendiri. Aku merasa tidak diakui sebagai perempuan sejati kadang-kadang karena terlalu ekstrem memikirkan tentang kenapa perempauan harus menjadi perempuan yang dianggap “ideal” di mata masyarakat. Mungkin banyak orang tidak akan mengkritik pemikiranku karena dianggap terlalu banyak menuntut tanpa dasar yang jelas.  Itu konsekuensi yang aku pilih. Biarkan saja. Aku lebih memilih dihakimi atas pemikiranku daripada dihakimi karena aku perempuan.
Aku tidak ingin perempuan selalu disalahkan atas pilihannya. Misalnya saja, pilihanku memakai kerudung dengan alasan tentu saja. Lalu mungkin suatu ketika aku akan melepas kerudungku dengan suatu alasan tentu saja (walaupun alasan itu mungkin bagi banyak orang tidak masuk akal), aku tidak ingin dihakimi. Mereka boleh mengkritik tetapi aku menolak dihakimi atas dasar aku perempuan. Ini bukan suatu pembenaran dan pembelaan atas sikap yang kupilih, tapi aku ingin orang melihat pilihanku karena ini memang suatu pilihan. Seperti misalnya laki-laki memilih untuk memakai topi atau tidak ke kampus. Tidak ada yang peduli akan pilihan mereka.  Kenapa tidak bisa berpikir seperti itu? Woyyy jangan selalu mengkaitkan apapun dengan pilihan perempuan. Oke mungkin akan ada yang berkomentar kalau ini menyangkut soal agama. Lalu kenapa tidak ada style yang menganjurkan laki-laki memakai sarung ke kampus. Apa ini soal menutup aurat? Atau soal melindungi perempuan dari tindak kejahatan? Atau malahan ini hanya soal bisnis kerudung? Entahlah hanya saja tidak bisakah kita melihat ini sebagai satu bentuk pilihan? Sekali lagi ini bukan pembelaanku. Ini hanya soal mempertanyakan tentang menjadi perempuan. Betapa sulitnya hidup dalam tubuh perempuan.
Akhir-akhir ini aku sedang berjuang menyelesaikan buku Aquarini Priyatna Prabasmoro. Aku bukan feminis. Mungkin pemikiranku mengarah kesana tapi aku hanya sebatas ingin tahu. Aku tidak membenci laki-laki yang boleh dibilang lebih beruntung. Menjadi laki-laki pun juga tidak mudah mungkin dengan segala tekanan yag dihadapi. Tetapi harus diakui stereotipe laki-laki tidak menempatkannya secara opresif. Laki-laki tidak ditekan dan ditindas oleh perlakuan yang menghakimi.
Sebelum mengakhiri tulisan ini aku ingin merekomendasikan buku yang bagus untuk dibaca karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Semoga buku dan tulisan ini menginspirasi. 
 



Cukup sekian malam ini. Silakan membaca.
Salam Hangat, Susi Sarawati
Dini Hari, 02.17 Senin, 22 April 2013